Mengenai Saya

Foto saya
Palembang, Sumsel, Indonesia
Alumnus S1 Teknik Sipil Unsri, bekerja sebagai Konsultan SDM, Lingkungan dan Rekayasa di Palembang.

Kamis, 29 Januari 2009

Ditilang Polisi , dan Polisi itu temenku

Dari kejauhan, lampu lalu-lintas di perempatan itu masih menyala hijau. Jono segera menekan pedal gas kendaraannya. Ia tak mau terlambat. Apalagi ia tahu perempatan di situ cukup padat, sehingga lampu merah biasanya menyala cukup lama. Kebetulan jalan di depannya agak lengang. Lampu berganti kuning. Hati Jono berdebar berharap semoga ia bisa melewatinya segera. Tiga meter menjelang garis jalan, lampu merah menyala.Jono bimbang, haruskah ia berhenti atau terus saja. "Ah, aku tak punya kesempatan untuk menginjak rem mendadak," pikirnya sambil terus melaju.
Prit!
Di seberang jalan seorang polisi melambaikan tangan memintanya berhenti. Jono menepikan kendaraan agak menjauh sambil mengumpat dalam hati. Dari kaca spion ia melihat siapa polisi itu. Wajahnya tak terlalu asing.Hey, itu khan Bobi, teman mainnya semasa SMA dulu.Hati Jono agak lega.Ia melompat keluar sambil membuka kedua lengannya.
"Hai, Bob. Senang sekali ketemu kamu lagi!"
"Hai, Jon." Tanpa senyum.
"Duh, sepertinya saya kena tilang nih? Saya memang agak buru-buru.
Istri saya sedang menunggu di rumah."
"Oh ya?"Tampaknya Bobi agak ragu. Nah, bagus kalau begitu.
"Bob, hari ini istriku ulang tahun. Ia dan anak-anak sudah menyiapkan segala sesuatunya. Tentu aku tidak boleh terlambat, dong."
"Saya mengerti. Tapi, sebenarnya kami sering memperhatikanmu melintasi lampu merah di persimpangan ini.
"Oooo, sepertinya tidak sesuai dengan harapan. Jono harus ganti strategi.
"Jadi, kamu hendak menilangku? Sungguh, tadi aku tidak melewati lampu merah..
Sewaktu aku lewat lampu kuning masih menyala.
"Aha, terkadang berdusta sedikit bisa memperlancar keadaan."
Ayo dong Jon. Kami melihatnya dengan jelas. Tolong keluarkan SIM-mu."
Dengan ketus Jono menyerahkan SIM, lalu masuk ke dalam kendaraan dan menutup kaca jendelanya. Sementara Bobi menulis sesuatu di buku tilangnya. Beberapa saat kemudian Bobi mengetuk kaca jendela. Jono memandangi wajah Bobi dengan penuh kecewa.
Dibukanya kaca jendela itu sedikit.Ah, lima centi sudah cukup untuk memasukkan surat tilang. Tanpa berkata-kata Bobi kembali ke posnya. Jono mengambil surat tilang yang diselipkan Bobi di sela-sela kaca jendela. Tapi, hei apa ini. Ternyata SIMnya dikembalikan bersama sebuah nota.
Kenapa ia tidak menilangku. Lalu nota ini apa? Semacam guyonan atau apa? Buru-buru Jono membuka dan membaca nota yang berisi tulisan tangan Bobi.
"Halo Jono, Tahukah kamu Jon, aku dulu mempunyai seorang anak perempuan. Sayang, ia sudah meninggal tertabrak pengemudi yang ngebut menerobos lampu merah. Pengemudi itu dihukum penjara selama 3 bulan. Begitu bebas, ia bisa bertemu dan memeluk ketiga anaknya lagi. Sedangkan anak kami satu-satunya sudah tiada. Kami masih terus berusaha dan berharap agar Tuhan berkenan mengkaruniai seorang anak agar dapat kami peluk. Ribuan kali kami mencoba memaafkan pengemudi itu. Betapa sulitnya. Begitu juga kali ini. Maafkan aku Jon. Doakan agar permohonan kami terkabulkan. Berhati-hatilah. (Salam, Bobi)".
Jono terhenyak.. Ia segera keluar dari kendaraan mencari Bobi. Namun, Bobi sudah meninggalkan pos jaganya entah ke mana. Sepanjang jalan pulang ia mengemudi perlahan dengan hati tak menentu sambil berharap kesalahannya dimaafkan... .
....Tak selamanya pengertian kita harus sama dengan pengertian orang lain. Bisa jadi suka kita tak lebih dari duka rekan kita. Hidup ini sangat berharga, jalanilah dengan penuh hati-hati.
Drive Safely Guys..

Tak Ada Yang Tak Mungkin Bila Allah Menghendaki

Hidup adalah kesempatan dan anugrah dari Yang Maha Kuasa. Perjalanan hidup adalah bagian dari kehidupan yang harus dihadapi oleh setiap manusia. Begitu juga kekayaan adalah hak setiap insan yang harus dimiliki sebagai anugrah dari Tuhan Yang Maha Esa. Tak ada yang tak mungkin bila Allah menghendaki.

Sabtu, 24 Januari 2009

Ayah dan Peci

Mohammad Sobary

Manusia bukan gunung. Ini pepatah Rusia yang saya dengar dalam film The Gulag Archipelago. Artinya, manusia bisa berubah. Begitu juga Ayah. Saya hidup dalam dunia kecil yang ruwet. Desa saya desa Muhammadiyah. Pengajian saya pun, di sore hari maka, jadilah saya anak Muhammadiyah. Ayah lain lagi. Ia sudah ada sebelum datang ke desa kami unsur pembaru itu. Ia abangan. Apa boleh buat. Abangan? Ia memang tak mendefinisikan diri begitu. Maka, baiknya diperjelas: ia tak salat lima waktu. Tapi ia pernah bertapa, seperti dilakukan Gusti Kanjeng Nabi Muhammad sebelum masa kenabiannya. Ayah juga mengajar saya berhenti makan sebelum terlalu kenyang seperti teladan Kanjeng Rasul. Dan ia pun doyan tirakat, seperti riadloh teman-teman NU di pesantren: makan Cuma umbi umbian, cegah daging, cegah garam. Dan melek malam.Wisdom-nya: jangan sebut keburukan orang. Lupakan kebaikanmu sendiri. Baginya, agama itu hidup. Kalau kita sudah mengerti makna hidup, baru kita paham apa itu agama.

Ketika saya masih sembilan tahunan ia pernah menegur, "Untuk apa kamu jengkang-jengking (salat)? Tahu apa kamu?" Saya sedih. Diluar rumah, tahun 1960-an itu, teman-teman yang lebih dewasa bicara ideologi. Juga soal jihad, perang sabil, dan keluhuran agama. Tapi tiap lagu Genjer Genjer dinyanyikan sebelum dan sesudah pertunjukan ketoprak, terasa di sana bagaimana pihak "musuh" meremehkan agama. Ada bahkan ketoprak dengan lakon: Patine Gusti Allah (Kematian Tuhan).Di tengah kemiskinan yang mencekam, bicara tentang ideology dan tentang kawan dan lawan memang terasa seperti jalan keluar yang baik. Ideologi membuat lupa bahwa sebetulnya kita lapar, dan bahwa kita tak mampu beli beras. Beras ibarat semahal emas. Kami makan bubur. Mungkin lebih tepat minum, sebab terlalu encer. Itu pun kadang kurang. Sering Ayah menahan diri dan tak makan. Hampir tiap malam Ibu tidur di lantai, di depan pintu, tanda prihatin. Menjelang tidur, Simbah selalu bicara tentang zaman normal, zaman lampau yang lebih baik, ketika Ayah masih anak-anak. Simbah, Ayah, dan Ibu percaya zaman susah itu akan berakhir segera setelah datang Ratu Adil suatu hari nanti.Saya tidak tahu Ratu Adil. Yang saya ketahui ialah bahwa saya takut. Sikap mereka, bicara setengah berbisik, bercerita setengah berharap, buat saya terasa seolah isyarat akan datangnya sesuatu yang lebih gawat.

Goro-goro, menurut orang Jawa, pertanda akan datangnya perubahan alam serta zaman. Dalam dunia wayang, setelah goro-goro di tengah malam itu, keluar Petruk, Semar, Gareng, Bagong: simbolisasi rakyat. Mereka mengawal, dan juga gigih membantu, satria utama menegakkan kebenaran.Gerakan 30 September PKI yang bikin bumi kita gonjang-ganjing, barangkali juga goro-goro itu. Pemerintahan diganti sesudahnya. Tatanan politik diubah. Pancasila dan UUD 45 dikedepankan. Partai politik dibuat sederhana. Dan kehidupan agama lebih semarak. Terbukti, ketakwaan kepada Tuhan jadi salah satu syarat pengangkatan seorang menteri.Rapat-rapat raksasa dan ganyang ini ganyang itu harus juga menjadi jiwa dan semangat rakyat di zaman Orla dulu, tetapi deru "mesin" pembangunan Orba menggantikannya. Kurang lebih jargonnya berbunyi: partai/ideologi politik mengakibatkan perpecahan, pembangunan menghasilkan beras. Kongkret sekali.Keadilan sosial belum tercapai tak menjadi soal karena pembangunan belum selesai. Maka, rakyat harus membantu para "satria" mendorong roda pembangunan.

Tiap suasana kritis, rakyat diminta mengetatkan sabuk. Ini demi pembangunan. Betul jihad itu bukan melulu berarti kibasan pedang dalam luapan rasa marah. Tapi kata itu telanjur tidak cocok buat alam pembangunan.Petugas KB malah diberi hak "mengintip" kamar tidur tiap pasangan suami-stri agar mereka tak terlalu banyak bersanggama. Alasannya pun jelas: lebih baik energi itu buat pembangunan.Wajah Indonesia berubah cepat. Di sana-sini yang tampak Cuma pembangunan dan pembangunan. Begitu juga wajah desa saya. Muhammadiyah makin gaya. Pembinaan umat meluas. Dan Ayah kini sembahyang. Kesana kemari bersafari dan berpici. Seolah takut bahwa tanpa pici lalu bukan Islam."Saya senang Ayah jadi santri," saya kasih komentar. "Dari dulu, sebetulnya Ayah juga Islam," sahutnya. "Hanya dulu itu belum 'nglakoni' (menjalankan)." Dari dulu Islam? Saya tak mengerti. Dalam benak saya terpola rumusan Clifford Geertz: yang salat itu santri, yang tidak berarti abangan. "Tidak begitu," kata Bambang Pranowo dalam disertasi doktornya di Universitas Monash Australia itu. "Keislaman bukan state of being. Ia state of becoming.Dikotomi santri abangan itu tidak tepat."

"Sekarang Ayah salat," Ayah menjelaskan, "tapi tetap seperti dulu: tak suka ideologi karena bikin ricuh, mengganggu stabilitas nasional," katanya lagi, persis pejabat, atau Pak Kades dalam film Si Unyil.Pendeknya, fenomena Ayah sembahyang pun ada kaitan dengan pembangunan. Maka, malam itu saya pun salat habis-habisan.Saya cuma berdoa, semoga Ayah diangkat jadi menteri ...

Rabu, 21 Januari 2009

Kelak, Maaf Tak Diperlukan Lagi

mohon dibaca malam takbiran
saat buka puasa terakhir
setelah sebulan berpuasa
atau seusai berzakat fitrah

[secangkir kopi untuk idul fitri]

Untuk hari raya, keterlaluan kalau hanya saya suguhkan secangkir kopi seperti biasanya. Mesti saya kasih gelas yang besar, atau silakan ngejog. Kalau ndak nanti saya dirasani. Kalau toh tak dirasani, dan hanya dibatin saja sebagai seorang bakhil, kikir, 'akik yaman,' ya tugas saya untuk ngrasani diri saya sendiri.Idul Fitri juga kita sebut Hari Raya. Semacam Hari Pesta, atau Yaumul Haflah. Memang salah satu fitrah manusia ialah daerah yang hangat dan daging yang ingin gemuk. Kan dietnya sudah sebulan penuh.Fitrah manusia itu dua sisi mata uang: wadag dan ruh. Ingin benda-benda, tapi juga ingin makna. Kalau makna thok 'kan kecut.Tapi kalau benda thok, kaya thok, nanti jadi panjenenganipun kewan. Berhariraya itu gampang. Tapi beridulfitri susah bukan main!

Berhariraya; mencari benda, menikmati benda, pokoknya yang sifatnya memenuhi wadagiyah, itu gampang. Allah menyediakan alam yang kaya raya, tinggal wasyrabu, asal laa tasrifuu. Kalau ada yang miskin apalagi faqir, berarti ada dua kemungkinan. Pertama, kita memang pilih zuhud, pilih menjadi zahid, acuh beibeh terhadap segala keduniaan. Kedua, ini yang gawat; ada sistem pengaturan kekayaan Allah yang tidak adil. Jadi kalau ada milyaran manusia di bawah garis kemiskinan, bisa dipastikan bahwa para manajer sejarah ini terdiri dari binatang-binatang yang kerasukan syaithanirrajiim.

Lha, yang susah itu beridulfitri. Besok pagi kita akan sibuk minta maaf. Apa saja sih kesalahan kita? Apa saja dosa kita sebagai pribadi, sebagai pejabat, sebagai seniman, sebagai tukang becak, sebagai bagian dari organisasi sosialitas antar manusia? Mungkinkah kita menginventarisir semua itu, untuk kita ajukan dan mohonkan 'grasi' dari segenap manusia yang kita salahi; agar benar-benar kita peroleh idul fitri?Jangan-jangan kita pernah dengki kepada orang lain; apa benar kita akan akui itu dan menjamin lusa tak kita ulangi lagi? Jangan-jangan kita pernah memperbudak orang lain; kita egois, hanya tahu kepentingan kita, hanya ingat kebutuhan kita sendiri. Jangan-jangan kita terbiasa merampok orang, mem-fetakompli orang lain sebagai 'hostes' belaka, sebagai 'tukang pijat' dari klangenan kita, bahkan menjadi lintah yang menghisap, menyerap, menggerogoti tenaga darah kehidupan orang lain. Apa betul itu semua akan kita insyafi demi memperoleh idul fitri?Untunglah orang-orang di sekitar kita terbiasa hidup dengan pola Nabi Isa: "Kalau pipi kananmu ditempeleng, kasih pipi kirimu!" Nanti makin lama orang makin akan memakai model Nabi Muhammad, yang sudah mengevolusi, sudah mengalamai akmaltu lakum dinakum, sudah menyempurna akidah kekhalifahannya.

Kalau pipi kananmu ditempeleng, jangan kasih pipi kirimu, itu namanya nahiy munkar. Pembebasan. Kenapa?Mungkin anda sudah kebal, sehingga tak bergeming oleh serbu tempelengan di pipi anda. Mungkin anda sudah sakti mandraguna. Berkat fatwa-fatwa para ulama mengenai iman, takwa, dan kesabaran, sehingga anda tak pusing oleh pukulan-pukulan. Tapi kalau kita membiarkan pipi kita ditampar hanya karena kita sudah punya kekebalan 'aji lembu sekilan spiritual'; itu namanya show of force, pamer kekuatan. Kita menunjukkan betapa hebatnya ketabahan kita, dan itu tak mustahil mengandung potensi riya atau takabbur.Membiarkan pipi ditempeleng, berarti membiarkan orang menempeleng. Dan kalau kita membiarkan orang lain membuat salah, itu namanya egoistis. Kita terlalu berkonsentrasi untuk menghimpun 'pahala memaafkan' sambil membiarkan orang lain menumpuk 'dosa menempeleng.' Nggak bener dong!Jadi, tindakan memaafkan itu dilandasi oleh tugas untuk quu anfusikum wa ahlikum naara. Lain soal kalau kita sukar memaafkan disebabkan oleh watak pendendam dalam diri kita. Dalam mekanisme psikologisnya, kecendrungan yang biasanya malah justru mendorong orang 'ngintip' kita dari balik pohon, menunggu kita melanggar lalu lintas. Makin banyak kita melanggar, makin punya kesempatan pula me-nahiy munkar kita.Jadi, ia mengkapitalisir dosa-dosa kita demi akumulasi pahal-pahala dia, untuk credit point dan sogokan. Polisi yang baik ialah berjuang sedemikian rupa sehingga kemungkinan kita berbuat salah ditekan serendah mungkin. Bukan malah dijebak dan di 'makan.' Denga kata lain, kita tidak berburu 'pahala memaafkan.

Yang diusahakan oleh setiap muslim ialah keadaan dimana tak lagi perlu memaafkan, karena memang tak ada kesalahan.Nah, kalau persyaratan-persyaratan maknawi dan proses maaf-memafkan itu sudah lumayan dipenuhi, maka kebangetan-lah kita kalau lantas kita masih juga tak mau memaafkan. Lha, wong Tuhan saja punya banyak nama dan sifat memaafkan: Al Afuw, Al Ghafur dan lain-lain.Pernah ada seorang Sufi yang ditempeleng oleh sedadu gara-gara dia menunjuk kuburan, ketika ditanya: "Dimana tempat ramai di sekitar sini?" Tatkala datang seseorang yang menjelaskan bahwa lelaki itu adalah tokoh spiritual penasehat Sang Khalifah, serdadu itu lantas menyemba-nyembah memohon ampun. Sang Sufi berkata: "Aku sudah memaafkanmu sejak sebelum engkau memukulku."Di dalam Al Qur'an, konsep mengenai negeri yang baik (adil makmur) dipaparkan bersamaan (terkait, kontekstual) dengan rabbun ghafur. Tidak baldatun thayyibatun, thok, tapi pakai 'Allah mengampuni' segala. Memang kitab pamungkas itu diturunkan tidak untuk iseng. Coba, apakah kira-kira Allah mengampuni Amerika Serikat yang terus menerus memveto resolusi yang menyangkut kezaliman Israel atas Palestina. Beranikah anda menjamin bahwa Allah memaafkan histeria individualisme, materialisme dan liberalisme di negeri-negeri makmur yang dewasa ini kita makin mabuk menirunya.Tetapi kita memang punya hobi mengeksploitir watak pengampun Allah. Kita tumpuk dosa setinggi-tingginya karena toh Allah Maha Pengampun. Kita terapkan theology of balance, bikin pelanggaran sebanyak-banyaknya dan bikin pahala untuk mengimbanginya. Kita terlalu ber'jualbeli' secara kampungan dengan Allah. Padahal, sekali lagi, tujuan setiap muslim ialah bagaimana mencapai kepribadian yang tak lagi perlu mohon maaf; justru karena memang sudah tak punya kesalahan dan dosa lagi. Juga terhadap sesama manusia kita semoga akan pernah amat sedikit saja butuh saling memaafkan, karena saking sedikitnya kesalahan yang kita bikin. Insya Allah, filsafat permaafan bukanlah alat 'penghapus dosa' (sehingga dosa perlu dibikin dulu), melainkan metode agar kita tak lagi menyelenggarakan dosa.Cakrawala perjalanan muslim ialah keadaan bebas maaf. Keadaan dimana maaf tak diperlukan, karena relatif tak kita lakukan hal-hal yang perlu dimintakan maaf dan dimaafkan. Jadi, idul fitri bukanlah penghapus kesalahan yang kita adakan dulu, melainkan berusaha tidak melakukan kesalahan.Tapi namanya juga cakrawala. Kita tak akan pernah sampai ke sana. Kita sekedar mengarahkan diri ke sana. Bukankah bahwa 'manusia itu tempat kesalahan' termasuk sunatullah atau hukum alam? Dan itu bisa kita eksploitir: "Mari korupsi sebanyak-banyaknya," lantas kita bilang: "al insaanu mahallul-khatha' wan-nis-yaaan!" Manusia itu tempat persemayaman kesalahan dan lupa!Asal ingat bahwa malaikat Munkar dan Nakir memiliki aji bajra geni yang amat nggegirisi. Bahkan 'wa man ya'mal mitsqala dzarratin syarran yarah' (barangsipa memperbuat sedebu keburukan, he'll see... kata Allah) bisa berlaku detik ini juga. Demikianlah saya ancam diri saya sendiri.Saya ucapkan Minal 'Aidin Wal Faizin; semoga kita termasuk ke dalam golongan orang-orang yang kembali ke fitrah dan orang-orang yang beruntung. Siapakah yang beruntung? Laa yastawii ash-habun-naari wa ash-habul-jannah, ash-habul-jannati humul-faaizun. Tidak sama sekabat neraka dengan sekabat surga. Sekabat surga ialah orang-orang yang beruntung.Surah apa dan ayat berapa itu ya?//doc. ean

Selasa, 06 Januari 2009

Syukur, Visi, Aksi


SYUKUR merupakan penerimaan kita sepenuhnya atas apapun yang terjadi saat ini..
Bila ingin mengadakan perubahan…buatlah VISI atau cita2
Dan lakukanlah AKSI…..